Konflik adalah hal yang setiap hari
kita hadapi, sebagai manusia kita tidak bisa terlepas dari konflik, demikian
juga dalam berpolitik, dengan semangat ukhuwwah Islamiyyah mari kita coba untuk
menganalisa sumber konflik politik tersebut, dampaknya, dan solusi Islam
untuknya demi persatuan, kesatuan, serta kejayaan umat Islam.
Sumber Konflik
Konflik di kalangan elite politik dalam alam demokrasi seperti sekarang, paling tidak disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, Perebutan kekuasaan. Sesuai dengan definisi politik yang dikembangkan dalam wacana sistem pemerintahan demokrasi, yakni politik adalah upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, (lihat Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik) maka perebutan kekuasaan menjadi hal yang niscaya laksana perebutan gelar juara dalam pertandingan tinju.
Konflik di kalangan elite politik dalam alam demokrasi seperti sekarang, paling tidak disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, Perebutan kekuasaan. Sesuai dengan definisi politik yang dikembangkan dalam wacana sistem pemerintahan demokrasi, yakni politik adalah upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, (lihat Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik) maka perebutan kekuasaan menjadi hal yang niscaya laksana perebutan gelar juara dalam pertandingan tinju.
Upaya merebut dan mempertahankan
kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan strategi dan taktik yang tidak sepi
dari rekayasa, tipuan, bahkan fitnah dan tidak jarang menghasilkan konflik yang
fatal dan dendam kesumat berkepanjangan.
Kedua, tidak saling percaya. Akibat salah mendefinisikan politik
sebagai upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan, maka tidak jarang terjadi
penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan pameo bahwa “kekuasaan cenderung korup” dan
“kekuasaan mutlak pasti korupnya” seakan telah menjadi aksioma yang tak boleh
dibantah. Akibatnya, selalu ada kecurigaan dan rasa tidak saling percaya di
antara para pelaku politik.
Logika yang dikembangkannya pun
menjadi salah kaprah. Setiap kritik dan koreksi terhadap penguasa dilihat
sebagai upaya menjegal penguasa. Sebaliknya, setiap penjelasan dari penguasa
akan dilihat sebagai sekedar upaya mempertahankan kekuasaan. Sebagai contoh,
Amien Rais yang selalu vulgar dalam kritiknya terhadap presiden Gus Dur dinilai
kalangan pendukung presiden Gus Dur sebagai orang yang tak tahu diri, dulu
–dengan poros tengahnya– ngotot mengangkat Gus Dur, kini malah hendak
menjatuhkannya. Sebaliknya, isu pencopotan Rozy Munir dari jabatannya sebagai
menteri BUMN dipandang sebagai upaya menaikkan pamor presiden menjelang Sidang
Tahunan bulan depan.
Ketiga, ngotot dan merasa benar sendiri lantaran sikap demi kepentingan
kelompok dan tiadanya tolok ukur yang baku dalam menilai permasalahan. Jika
kedua faktor sumber konflik di atas dikelola dengan pedoman dan tolok ukur baku
yang dipercayai semua fihak, mengurangi bahkan menghentikan konflik masih
dimungkinkan. Namun jika kehidupan politik tanpa tolok ukur yang baku, maka
konflik cenderung timbul terus bahkan sangat mungkin berkepanjangan. Demokrasi
sendiri sebagai sebuah sistem politik tidak memiliki tolok ukur yang baku dalam
menyelesaikan konflik. Keputusan selalu diambil dengan suara terbanyak
(mayoritas) baik mutlak maupun relatif, sementara mayoritas suara itu sendiri
justru bersifat relatif dan mudah berubah. Di masa orde lama, suara mayoritas
adalah suara PNI + PKI. Di masa orde baru, suara mayoritas adalah suara ABRI +
Golkar. Dan di masa kini suara mayoritas bisa jadi sangat mudah berubah-ubah
karena tidak ada partai yang menang mutlak dalam pemilihan umum. Kalau pada
sidang MPR tahun lalu gabungan poros tengah + Golkar bisa mengantarkan Gus Dur
ke kursi kepresidenan, kini dirumorkan bahwa dalam sidang mendatang Amien Rais
menjalin hubungan dengan Golkar dan PDI untuk menggusur Gus Dur dari kursi yang
sama.
Dalam Islam tolok ukur untuk
mengatasi perkara perselisihan antara satu pihak dengan pihak lain telah jelas,
yakni Al Qur’an dan Sunnah yang jelas merupakan wahyu Allah SWT, satu-satunya
sumber kebenaran. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),” (QS. An Nisa 59).
Konflik Elit: Yang Rugi, Umat Islam
Konflik elite di pusat justru memicu disintegrasi di daerah. Ini ditambah lagi dengan seringnya pernyataan bahwa konflik di daerah didalangi oleh sejumlah elite dari pusat. Yang jelas, konflik di pusat memberikan ruang kepada daerah untuk melepaskan diri dengan berbagai alasan.
Konflik elite di pusat justru memicu disintegrasi di daerah. Ini ditambah lagi dengan seringnya pernyataan bahwa konflik di daerah didalangi oleh sejumlah elite dari pusat. Yang jelas, konflik di pusat memberikan ruang kepada daerah untuk melepaskan diri dengan berbagai alasan.
Yang menarik, disintegrasi daerah
ini justru bermodus meminta intervensi asing dan internasionalisasi krisis di
daerah. Setelah kasus Timor Timur, kini Maluku dan Papua sedang merangkak ke
sana dengan adanya permintaan intervensi dari tokoh-tokoh Gereja kepada dunia
internasional yang tentunya dikuasai oleh orang-orang Kristen.
Oleh karena itu, kita patut waspada
bahwa konflik antar elite politik bukan tidak mungkin di sini adalah hasil
konspirasi internasional untuk melepaskan sebagian wilayah negeri ini agar
menjadi wilayah Kristen seperti yang terjadi pada kasus Timor Timur. Kalau itu
terlambat kita sadari tentunya kaum muslimin di negeri ini suatu ketika akan
gigit jari dengan lepasnya bumi dan segenap kekayaan tanah airnya dicaplok oleh
konspirasi internasional kaum kafirin.
Konflik elite yang kita lihat ada
nuansa rekayasanya ini tampak sebagai konflik sesama muslim. Dalam situasi kaum
muslimin terbelit konflik sesama mereka itu justru sejumlah tokoh gereja
meminta bantuan asing untuk intervensi di wilayah Maluku. Ini tentu membawa
kecurigaan bahwa konflik antar elite politik muslim ini merupakan jebakan untuk
memindahkan konflik antara muslim dengan musuh mereka yang kafir menjadi
konflik sesama muslim. Sementara sesama kaum muslimin bersitegang, kaum kafir
mengambil keuntungan. Sebab bila pasukan internasional muncul, justru mereka
akan mengerat wilayah kaum muslimin untuk dibagi dengan orang-orang kafir dan
dipisah dari kesatuan wilayah kaum muslimin seperti yang terjadi di Bosnia.
Oleh karena itu, hendaknya kaum
muslimin sadar bahwa bangsa-bangsa kafir senantiasa akan berusaha memecah-belah
kesatuan negeri kaum muslimin untuk menaklukkan kaum muslimin. Mereka tak
mungkin menguasai kaum muslimin kecuali setelah berhasil memecah-belah kaum
muslimin. Rasulullah saw. mengingatkan kita akan bahaya yang akan menimpa kaum
muslimin dengan sabdanya:
“Sungguh aku meminta kepada
Rabb-ku bagi umatku agar umatku itu tidak binasa karena wabah kelaparan dan
musuh selain dari kalangan mereka sendiri tidak dapat menguasai mereka hingga
masyarakat mereka terjaga. Dan sungguh Rabb-ku berfirman : Wahai Muhammad,
sesungguhnya bila Aku telah menetapkan suatu putusan maka putusan itu tidak
dapat ditolak. Sungguh Aku telah memberimu bagi umatmu bahwa mereka tidak
dibinasakan oleh wabah kelaparan dan musuh selain dari kalangan mereka sendiri
tidak dapat menguasai mereka hingga masyarakat mereka terjaga sekalipun
dikepung dari berbagai penjuru, hingga mereka saling menghancurkan satu sama
lain dan saling menawan satu sama lain.” (HR. Muslim).
Hadits ini jelas menyatakan bahwa
umat Islam tidak akan hancur luluh lantaran dikepung bangsa-bangsa di dunia
yang bersekutu melawan umat Islam jika umat tidak berpecah-belah..
Kembali ke Khitthah: Ukhuwah
Islamiyyah
Islam mengajarkan agar sesama muslim merasa bersaudara. Allah SWT berfirman:
Islam mengajarkan agar sesama muslim merasa bersaudara. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang mu’min
adalah bersaudara ” (QS. Al Hujurat 10).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya
mengatakan bahwa seluruh kaum muslimin adalah bersaudara dalam agamanya
(ukhuwwah fiddiin).
Ayat di atas jelas menyebut hanya
orang-orang mukmin yang bersaudara. Lafazh ?¥???†?‘???…???§ dalam ayat di atas
yang merupakan alat pembatas (adatul hasr) secara tegas bahwa persaudaraan bagi
seorang pemeluk dinul Islam hanya berlaku terhadap seorang muslim yang lain.
Tidak ada persaudaraan dengan pemeluk agama atau keyakinan selain Islam.
Dengan demikian ikatan persaudaraan
yang hanya boleh dimiliki oleh kaum muslimin adalah ikatan aqidah dan
hukum-hukum Islam. Jadi tidak bisa dibenarkan adanya persaudaraan-persaudaraan
yang dikembangkan atas tali yang lain seperti ikatan persaudaraan setanah air
(ukhuwwah wathoniyyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah).
Sebab tidak ada dalilnya dalam Islam dan Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa yang mengerjakan suatu
aktivitas yang tidak kami perintahkan atasnya maka amalnya itu tertolak“.
Ukhuwwah Islamiyyah bagi sesama
muslim itu harus ada manifestasinya secara nyata, misalnya seorang muslim tidak
menzhalimi muslim yang lain dan tidak menyerahkannya kepada musuh. Imam Ahmad,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i meriwayatkan hadits dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Muslim itu saudara seorang
muslim, dia tidak menzhaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh. Siapa
saja yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya; dan
siapa saja yang membebaskan seorang muslim dari kesulitan, Allah SWT akan
membebaskannya dari suatu kesulitan di hari kiamat; dan siapa saja yang
menutupi aib sesama muslim niscaya Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat”
(lihat Fathul Kabir III/275).
Hadits tersebut jelas bahwa menyebut
bentuk-bentuk praktis manifestasi ukhuwah Islamiyyah di antara sesama muslim
secara individual. Bentuk-bentuk tersebut dapat kita jumpai dalam berbagai ayat
maupun hadits yang berkenaan dengan perwujudan praktis ukhuwah Islamiyyah dalam
kehidupan seorang muslim terhadap saudara sesama muslim yang ada di sekitarnya,
di antaranya larangan mengghibahnya, memfitnah, menyelidiki dan membuka aib,
menipu, berdusta, kikir, menghinanya, mencelanya, melanggar kehormatannya,
membunuhnya, dan larangan membeli barang yang sedang ditawar saudaranya atau
melamar wanita yang sedang dalam status dilamar saudaranya. Sebaliknya banyak
ayat maupun hadits yang justru mendorong seorang muslim bersikap lemah lembut
terhadap sesama muslim, bersahabat, berkasih sayang, saling mengucapkan salam
dan berjabatan tangan, saling memberikan hadiah, bahkan mewasiatkan harta
tatkala hendak meninggal, mendoakan sesama muslim, mengunjungi, bersama dalam
suka dan duka, menjenguk yang sakit, dan mengurus jenazah yang meninggal dunia.
Secara komunal, ukhuwwah Islamiyyah
di antara kaum muslimin itu diwujudkan dalam tiga bentuk. Pertama, kesatuan
umat dan daulah. Kedua, mempertahankan negeri Islam dan pemerintahan khilafah.
Ketiga, amar makruf nahi mungkar atas kaum muslimin dan penguasa.
Khatimah
Kini jelaslah bahwa jalan utama menyelesaikan konflik elite dan segala turunannya yang jelas merugikan kaum muslimin adalah dengan kembali ke khitthah umat Islam semesta, yakni menegakkan ukhuwwah Islamiyyah baik secara individual maupun komunal.
Kini jelaslah bahwa jalan utama menyelesaikan konflik elite dan segala turunannya yang jelas merugikan kaum muslimin adalah dengan kembali ke khitthah umat Islam semesta, yakni menegakkan ukhuwwah Islamiyyah baik secara individual maupun komunal.
Berkaitan dengan hal itu kaum
muslimin harus sadar rencana jahat kaum kafirin yang hendak memindahkan medan
konflik muslim kafir menjadi konflik sesama muslim demi politik devide et
impera mereka.
Selanjutnya kaum muslimin harus
merapatkan barisan dalam ikatan sejati dengan saling tolong dan saling isi
sesama muslim dalam menggapai kejayaan sebagaimana telah diukir generasi
sebelum mereka selama lebih dari sepuluh abad. Bukankah Nabi Muhammad bersabda:
“Seorang mukmin dengan mukmin
yang lain seperti bangunan yang saling memperkuat” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dikutip dari : Gaul ISlam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap Berkomentar secara Arif Nan Bijaksana.
Trim's . . . !!!