Tidak
mudah menjadi muslimah yang istiqamah di zaman ini. Aku yang ingin berjilbab
mendapat banyak hambatan dan tentangan. Tapi, apapun insyaAlllah akan kuhadapi
walau harus drop out
dari bangku sekolah.
Berjilbab bukannya tanpa halangan, termasuk dari orang tua.
Cukup sering aku ribut-ribut kecil dengan keluargaku soal jilbab ini. Dibilang
sulit cari jodoh, sulit cari kerja, kayak ibu-ibu, kayak wanita hamil. Belum
lagi kalau pergi ke warung, pasti aku harus berjilbab dulu, pake kaos kaki. Ini
dikomentari ribet, tidak praktis, makan
waktu. Tapi alhamdulillah, seiring
perjalanan waktu, dan juga usaha gigih dari aku dan kakak-kakakku memahamkan
soal kewajiban jilbab akhirnya mereka bisa menerima.
Begitu menginjak bangku SMU aku mengajak kawan-kawan di
pengajian sekolah untuk berkerudung dan berjilbab. Untuk itu kami mengumpulkan
uang untuk membeli bahan seragam jilbab. Ketika naik di kelas II akhirnya kami
semua berjilbab. Caranya bahan seragam kemeja putih itu kami sambung dengan rok
tapi tetap kami tutupi sehingga keliatan dari luar seperti tidak berjilbab.
Semangatku dan teman-teman untuk berjilbab ini begitu kuat.
Sampai-sampai di pelajaran olah raga kami ngotot berjilbab, nggak mau memakai
pakaian olah raga dari sekolah. Awalnya guru olah raga melarang, teman-teman
juga memandang aneh. “Olah raga kok pake jilbab,” pikir mereka. Karena lobi
yang kami lakukan akhirnya guru olah raga mempersilakan kami untuk tetap
berjilbab. Hanya saja pihak sekolah tetap tidak setuju dengan keinginan kami
berjilbab. Sampai akhirnya diambil keputusan oleh pihak sekolah kalau kami
tetap diizinkan berjilbab ketika berolah raga, tapi diberi nilai ‘sewajarnya’.
Begitu pembagian rapor nilai 4 dan 5 mengisi mata pelajaran olahraga untukku
dan kawan-kawan yang berjilbab.
Cobaan
Itu Datang
Jilbab yang aku kenakan bersama kawan-kawan akhirnya menular
pada adik-adik kelasku yang kami bina dalam pengajian sekolah. Mulanya hal ini
tidak dipersoalkan oleh pihak sekolah. Tapi begitu aku naik kelas III masalah
itu muncul. Awalnya guru-guru di sekolah menerapkan aturan soal kerapihan
seragam sekolah. Kemeja seragam diwajibkan untuk dimasukkan ke dalam rok. Seorang
kawan yang kelasnya sedang diinspeksi meminta ijin karena berjilbab. Kontan
guru memarahinya. Ia pun dikeluarkan dari kelas. Kejadian itu akhirnya
berlanjut ke seluruh kelas. Setiap siswi yang ketahuan berjilbab dikeluarkan.
Kami, siswi kelas III, dipanggil oleh kepala sekolah,
diceramahi agar patuh pada aturan sekolah dalam pakaian seragam. Pihak sekolah
pun membuat surat panggilan untuk orang tua siswi yang berjilbab. Dalam
pertemuan dengan orang tua pihak sekolah tidak saja menceramahi orang tua soal
aturan seragam sekolah, tapi juga memberi ultimatum kalau anak-anaknya tetap
berjilbab maka mereka tidak diizinkan mengikuti ulangan. Pihak sekolah juga
mengopinikan kalau di sekolah sedang berkembang pengajian sesat. Bahkan seorang
guru mengatakan bahwa di sekolah ini kita tidak bisa memakai hukum Allah, tapi
harus memakai aturan dari pemerintah. Na’udzubillah,
padahal guru itu beragama Islam dan mengajarkan mata pelajaran agama Islam.
Orang tua juga diminta untuk menyuruh anaknya melepas jilbab atau membuat surat
pengunduran diri dari sekolah.
Hasilnya banyak ortu yang memarahi anak-anaknya. Ada kawan
yang jilbabnya disobek, ada yang jilbabnya mau dibakar, ada yang hampir
digampar, ada yang dilarang ngaji, bahkan ada orang tua yang sampai
memohon-mohon pada anaknya agar mau melepas jilbabnya. Sedikit saja ortu yang
mendukung anak-anaknya.
Kami tidak menyerah. Perjuangan mulai kami lakukan. Kami
mengirimkan surat pembaca ke satu koran daerah. Tujuan kami tidak lain untuk
mencari bantuan dan menjelaskan kepada masyarakat kalau berjilbab itu tidak
mengganggu kegiatan belajar mengajar. Tapi pihak sekolah semakin marah dengan
hal itu. Kembali kami dipanggil oleh pihak sekolah, dilarang belajar dan
dimarahi. Kami dituding keras kepala, untuk membuka jilbabnya saja tidak mau.
Kami juga disebut-sebut sudah mencemarkan nama baik sekolah ke media massa.
Pihak
sekolah juga terus-terusan menekan kami. Berkali-kali kami dikeluarkan dari
kelas, atau kalaupun boleh mengikuti pelajaran kami dianggap alpa. Meski kami
diperbolehkan mengikuti ulangan tapi kami sudah sulit berkonsentrasi karena
berbagai tekanan dan intimidasi. Yang membuat hatiku sedih dan tersinggung
adalah ketika EBTA praktik mata pelajaran agama dalam cara berwudlu, kami yang
berjilbab disuruh membuka kerudung di depan teman-teman ikhwan dan akhwat
dengan alasan agar berwudlunya sempurna. Meski kami dan sejumlah teman-teman
ikhwan protes tapi tetap saja guru agama kami tidak bergeming. Karena menolak
terus akhirnya kami diberi nilai di bawah enam. Karena tekanan dari ortu dan
sekolah, beberapa kawan yang kemudian melepas jilbab dan memakai seragam
terusan.
Cara sekolah dalam memaksa kami untuk membuka jilbab mulai
diperhalus. Mereka mendatangkan sejumlah alumnus sekolah yang kini aktif di
satu partai politik Islam nasional dengan tujuan membujuk kami untuk melepas
jilbab, dan memakai seragam biasa tanpa disambung. “Soal pakaian jilbab itukan
ikhtilaf, dilepas juga tidak berdosa, kok,” kata mereka. Terang saja aku marah
dan mendebat mereka. Aku kecewa kok ada aktivis pengajian dan dari partai
politik Islam yang berpikiran seperti itu. Tapi mereka seperti tidak malu terus
saja membujuk kami untuk melepas jilbab. Mereka juga bergerilya ke rumah-rumah
kawan-kawanku, membujuk mereka untuk melepas jilbab.
Pertolongan
Itu Dekat
Setiap malam aku berdoa kepada Allah agar Ia memberikan
pertolongan kepada kami. Aku sendiri sudah siap seandainya tidak bisa mengikuti
EBTANAS dan harus drop out dari bangku sekolah.
Mama sudah menyerahkan sepenuhnya urusan itu kepadaku. Kawan-kawanku juga
banyak berdoa setiap malam, bahkan ada yang hampir setiap malam menangis.
Meski
begitu kami tidak menyerah begitu saja. Setiap dikeluarkan dari kelas, kami
bergerilya ke MUI dan Depag untuk mencari bantuan. Alhamdulillah,
mereka cukup merespon. Bahkan ketua MUI sendiri datang ke sekolah dan
menyaksikan langsung diskriminasi yang terjadi pada kami. Ia pun menegur pihak
sekolah dengan keras.
Lama
kelamaan simpati dari guru-guru juga berdatangan. Beberapa guru juga
mempersilakan kami untuk tetap mengikuti pelajaran. Mereka yang semula segan
untuk memprotes kebijakan sekolah mulai berani angkat suara. Akhirnya sekolah
mengalah dan tidak lagi mempermasalahkan jilbab.
hirnya pihak sekolah menerima siswinya yang berjilbab, meski
aku tahu itu dilakukan dengan segala keterpaksaan. Tapi setidaknya itu sudah
jalan keluar teraman dalam keadaan sekarang ini. Aku berharap agar adik-adik
kelasku dan juga muslimah manapun yang ingin berjilbab mendapat kemudahan dan
ditolong oleh Allah SWT. Amin. [seperti diceritakan Nurul pada
Januar].
[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi
Mei 2003]
Dikutip
dari : Gaul ISlam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap Berkomentar secara Arif Nan Bijaksana.
Trim's . . . !!!