Aku
dibesarkan dalam lingkungan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Jangankan sholat,
kecintaanku kepada Rasulullah saja, tak pernah terlintas. Sejak TK hingga SMP,
aku belajar di sekolah non Islam. Alasan orangtuaku, karena sekolah ini paling
bagus model pendidikannya. Memang cukup bagus, tapi ternyata kami yang muslim
pun diwajibkan mengikuti program agama mereka.
Anak-anak muslim seusiaku mungkin sudah mengenal nama-nama
Nabi, nama-nama Sahabat Rasul, sholat itu wajib, amar ma’ruf nahi munkar
kudu dilaksanakan. Tapi tidak denganku, untuk mengenal angka 1 sampai 10 dalam
bahasa arab saja aku tidak tahu.
Aku lebih
terbiasa dengan doa-doa yang mereka pakai ketika memulai pelajaran dan pulang
sekolah. Aku juga lebih terbiasa dengan lagu-lagu kerohanian yang diajarkan
guru agama Kristen. Penjiwaanku terhadap lagu-lagu kerohanian mereka, lebih
kental dibandingkan penjiwaanku ketika membaca al-Quran. Itupun baru kupelajari
setelah kedua orang tuaku menyediakan pengajar dari luar.
Di antara keluargaku hanya aku yang bisa untuk mentadarussi
al-Quran. Ayah, Ibu, dan kelima saudara kandungku tidak bisa diharapkan.
Terlebih lagi dalam urusan sholat dan puasa. Akupun termasuk orang yang lalai
dalam menjalankan sholat. Kalau ada sesuatu yang kuinginkan baru aku sholat.
Tetapi setelah keinginanku sudah tercapai aku kembali enggan untuk
melaksanakannya.
Wajib
ke gereja
Kami juga harus mengikuti aturan sekolah. Tak peduli agama
mereka apa. Mereka diwajibkan mempraktekkan ajaran agama Nasrani. Misalnya
saja, ketika para murid sedang menghadapi ujian EBTA, Pra EBTA dan EBTANAS,
saat itu juga para murid diwajibkan berdoa. Pelaksanaannya harus dilakukan
bersama-sama ke gereja. Harapannya tentu untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan.
Sanksi bagi yang tidak melaksanakan harus berlari
mengelilingi lapangan bola volley sebanyak 10 kali. Bagiku
sih nggak masalah untuk lari sebanyak itu karena semua orang tahu kalau aku
bisa untuk melakukannya. Jangankan di dalam sekolah, di luar sekolah pun aku
pernah mengalahkan semua teman seangkatanku, yang tentunya jarak di luar
sekolah lebih panjang dibanding di dalam sekolah. Tapi yang tak kumengerti
mengapa akhirnya aku ikut juga untuk berdoa bersama ke gereja.
Kulangkahkan kakiku ke jalan lorong menuju gereja, sementara
itu perasaanku tidak menentu seperti ada yang ingin mengatakan sesuatu kepadaku
tentang kehadiranku di gereja. Entahlah aku merasa bimbang untuk mengambil
sikap. Sesampainnya di depan pintu gereja, aku mengamati gerak-gerik setiap
orang yang masuk ke gereja. Gerakan tangan itu tidaklah aneh bagiku, gerakan
tangan membentuk tanda salib. Dimulai dari sentuhan ke dahi kemudian ke dada,
dilanjutkan kepundak kiri dan berakhir ke pundak kanan. Itu dilakukan setelah
tangan mereka dicelupkan kedalam air suci yang sudah disediakan di sebelah
kanan pintu gereja.
Di dalam sana sudah tersedia kursi dan meja yang memanjang
tapi kursi itu bukan untuk diduduki tapi dipergunakan untuk menyanggah lutut.
Meja itu dipakai utnuk meletakkan tangan yang kemudian dikepalkan. Kepala
menunduk, kemudian dilanjutkkan dengan gerakan tangan membentuk salib lagi. Gerah,
risih yang kurasakan saat itu. Di sini tempat ibadah mereka bukan tempatku,
gumamku. Ya Allah bagaimana nasib teman-temanku yang seagama denganku?
Aku tak
pernah berpikir apakah akidahku akan terkikis atau tidak. Mungkin ini semua
dikarenakan aku tumbuh dalam lingkungan yang tak islami. Peringatan hari besar
agama mereka selalu kurayakan bersama. Telur ayam yang sudah direbus juga turut
menyertai maraknya hari paskah. Semua murid ambil bagian dalam menghiasi
telur-telur itu.
Acara tukar kado antar lawan jenis juga ikut memeriahkan hari
paskah. Begitu juga yang kulakukan setiap hari Natal tiba. Tanpa pernah tahu
agamaku melarangnya atau sebaliknya. Itu pula yang kemudian membuatku hadir
dalam program pembenahan diri yang diadakan sekolah. Acara Ret
Ret namanya. Semacam acara sanlat dalam Islam.
Acaranya dijadwal hanya seminggu. Semua materi dikemas sesuai
dengan misi mereka. Mulai dari isi materi, diskusi kelompok dan bentuk
permainan. Tak ketinggalan doa-doa merekapun turut menyertai pula. Setiap kali
aku berada di tempat ibadah mereka, mendengarkan suguhan ceramah atau
mendengarkan lagu kerohanian mereka, hatiku selalu berontak, jiwaku gamang.
Saat itu yang ada dalam benakku, aku adalah orang Islam kenapa aku harus berada
di sini?
Menjemput
Hidayah
Di kota hujan, pertama kukenal Islam yang sesungguhnya. Di
Kota Bogor ini memberikan warna tersendiri bagi kehidupanku. Di sinilah? aku
memulai segalanya saat aku sekolah di sebuah SMU. Tak pernah terlintas dalam
benak, kalau akhirnya aku menjadi seorang muslimah sejati.
Awalnya aku ikut-ikutan mentoring yang diselenggarakan kakak
kelas, daripada bengong dan nggak ada kerjaan, pikirku. Namun langkah yang
kuambil ternyata membawakan hasil yang tidak pernah terpikir olehku. Sholat
lima waktu tak pernah kutinggalkan, juga tadarus al-Quran. Dulu aku jarang
melakukannya. Bahkan kerudung dan jilbab yang dulunya aku anggap sebagai
pakaian karung yang merusak penampilan, sekarang menghiasi hari-hariku. Kini
Belajar, ngaji dan dakwah mengisi kesibukanku. Kekosongan jiwaku terisi dengan
kedamaian dan ketenangan.
Kepada
saudara-saudaraku, terjerumus ke dalam jurang bukanlah keinginan setiap
manusia. Begitu juga dengan aku dalam kisahku ini. Bagi saudara-saudaraku yang
pernah mengalami perjalanan hidup sepertiku, cobalah untuk sadar dari sekarang.
Berkat hidayah Allah yang lebih dulu menyapaku, aku berubah menjadi muslimah
sejati. Berusahalah lebih keras agar hidayah Allah segera menghampirimu.
Kepada para orang tua yang menyayangi anak-anaknya,
menyekolahkan anak bermodalkan disiplin yang tinggi dengan fasilitas sekolah
yang memadai, tapi akidah terbengkalai, apakah itu rasa sayang orang tua
terhadap anak-anaknya atau sebuah kehancuran yang diharapkan? [seperti
yang diceritakan Afrasana kepada Solihin]
[pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda,
edisi Januari 2005]
Dikutip dari
: Gaul Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap Berkomentar secara Arif Nan Bijaksana.
Trim's . . . !!!