Cinta
yang bersemi dalam hatiku memang membuatku bahagia, tapi kebahagiaan semu.
Selebihnya aku menderita karena cinta. Namun entah kenapa aku terus hanyut
dalam nuansa biru itu. Sampai akhirnya aku menemukan kebenaran.
Aku merupakan anak bungsu, dibesarkan dalam keluarga yang
sedang-sedang saja. Tapi aku masih sempat bersyukur karena kehidupan keluargaku
berjalan harmonis. Bapakku seorang imam masjid di kampung tempat aku tinggal.
Kakakku seorang pengajar madrasah di sini. Boleh dibilang keluargaku merupakan
keluarga yang taat terhadap agama. Itulah mungkin kenapa dalam pergaulan, aku
tidak “terlalu” terbawa arus. Cuma seperti kebanyakan keluarga yang mendidik
anaknya dengan pendidikan agama “alakadarnya” yang hanya mengandalkan pendidikan
agama untuk anaknya dari sekolah dan separo lagi dengan ngambil
sana, ngambil sini. Maka aku pun bernasib seperti jutaan
anak-anak muslim lainnya. Menjadi muslim yang tidak kaffaah.
Yang hanya tahu sholat, zakat, puasa dan haji adalah kewajiban satu-satunya
yang harus dijalankan oleh seorang muslim. Tidak terkecuali yang namanya urusan
pacaran, yang seharusnya dijauhi dan dicampakan aku termasuk yang
mengerjakannya.
Petualangan cintaku bermula ketika SMP. Aku bertemu seorang
akhwat satu kampung di sebuah telepon umum. Dia memintaku untuk menelepon
seorang temannya yang cowok. Istilahnya dulu itu “minjam suara”. Dari situlah
benih-benih cinta yang terlarang mulai disemaikan oleh iblis. Dan gayung pun
bersambut. Dia mengajak berkenalan. Dari perkenalan itu, ditambah gharizah
na’u-ku yang menuntut pemenuhan dan memang pergaulan nggak bener
itu sedang jadi trade mark di kalangan
teman-teman yang sekuler, aku pun memulai aktivitas pacaran.
Maka hari demi hari yang aku lalui tidak pernah luput dari
aktivitas yang satu ini dengan berbagai “atributnya”. Mulai dari urusan
menjemput sang kekasih, ngobrol, berkhalwat, makan bareng, main band, sampai
apel jadi bagian kesibukan aku sehari-hari. Malah kadang kegiatan utama
terabaikan, seperti sekolah salah satunya. Aku begitu menikmatinya. Kadang
dalam pacaran, aku sempat menyerempet hal-hal yang tidak sepatutnya aku
lakukan.
Enggak
salah memang ‘orang salah’ bilang jatuh cinta itu berjuta rasanya. Itu yang aku
rasakan pada awalnya. Siang tidak terasa panas lagi rasanya karena ada dia yang
meneduhkan. Malam tidak menjadi gelap karena ada purnama? yang menerangi di
sisi sampai aku merasa takut untuk kehilangan dia. Hanya dialah hidupku.
Ibaratnya kita akan selalu bersama, matipun bersama.
Semua
begitu indahnya. Mataku terbutakan oleh kepalsuannya. Walaupun kadang
pertengkaran menyertai,? mulai dari masalah yang sepele, sampai kelas berat
(malah sempat mau putus) itu semua dapat diselesaikan dengan sendirinya.
Temen-temen sekuler biasanya memberi semangat kalo lagi ada masalah. Mereka
mengatakan bahwa hal itu biasa dalam dunia percintaan, sebagai bumbu katanya.
Biar lebih ‘garing’.
Sampai? suatu hari Allah menegur atas kesombonganku. Hal yang
kutakutkan terjadi. Gadis yang kucintai sakit. Kabar itu aku terima dari
teman-teman. Aku tidak menjenguknya karena aku takut pada orang tuanya. Memang
selama ini pacaran yang aku lakukan back street.
Mengingat orang tuanya masih belum setuju anaknya pacaran dengan alasan masih
kecil. Selama? pacar sakit, aku jadi sering gelisah, tiap hari hanya memikirkan
dia. Melamun. Sekolah pun terbengkalai, malas. Dari rumah berangkat, padahal
tiap hari cuma nongkrong di jalan, tempat kami biasa bertemu. Mengharap dia
sembuh dan datang. Atau menunggu kabar dari teman tentangnya.
Sampai penantianku berakhir dengan sebuah berita. Pacarku
harus dibawa ke rumah sakit dengan keadaan koma. Dan.. dua hari berselang. Ia
dipanggil oleh Penciptanya. Hatiku luruh hancur berkeping-keping, kesedihan
yang teramat sangat melanda, shock, terguncang, kecewa,
menyalahkan atas kuasa-Nya, itulah yang aku alami setelah menerima kabar
terakhir kekasihku itu. Cinta begitu membutakanku hanya untuk sekedar mengambil
i’tibar dari kematiannya, sekedar memahami semua enggak ada yang abadi, semua
bertanggung jawab atas dirinya masing-masing. Ketika jasadnya disemayamkan aku
begitu bodoh menjenguk alam sana, bahwa akupun akan mengalami hal serupa.
Perbuatanku akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah pencipta semesta alam.
Dua tahun lamanya aku dilanda stress. Hari-hari kulalui dalam
kesendirian, keterpurukan dan dengan angan-angan kosong. Kilas balik ketika aku
masih bersamanya, lebih sering menemani. Sekolah menjadi korban, akupun drop
out di tengah jalan.
Tapi
keadaan itu tidak berlangsung lama. Sekali lagi, atas dukungan teman-teman yang
mengatakan dunia tidak selebar daun kelor, akhirnya aku bangkit lagi. Rasa
untuk menyukai lawan jenis muncul lagi. Didukung dengan wajah yang menurut
kawan-kawanku tidak jelek bahkan baby face bukan hal yang
sulit bagiku untuk mendapatkan pengganti. Karena itulah aku sering gonta-ganti
pacar.
Sampai akhirnya Allah berkenan memberikan hidayah-Nya
kepadaku, setelah bersinggungan dengan teman-teman pengajian. Waktu itu aku
sedang apel di rumah kontrakan pacar baru di suatu malam. Kami hanya berdua
dengannya. Rupanya ada teman-teman yang sudah ‘hijrah’ kurang suka dengan
perbuatan yang kami lakukan. Karena sampai tengah malam aku masih berada di
sana.
Akhirnya temanku memberi teguran. Dia begitu marah. Saking
marahnya, dia melempar pintu rumah kontrakan pacarku. Akupun keluar. Dan
menanyakan maksud perbuatannya. Dia mengatakan, bahwa perbuatan seperti itu
tidak pantas dan haram aku lakukan sebagai seorang muslim. Islam ada aturannya
bergaul dengan lawan jenis. Apalagi aku, sebagai anak seorang imam masjid,
ustadz, hal itu akan berdampak buruk dalam pandangan masyarakat. Teman-temanku
mengatakan alasan dia berbuat seperti itu, yaitu semata-mata karena amar ma’ruf
nahyi munkar katanya. Dan lebih karena perasaan sayangnya kepadaku, saudaranya
sesama muslim. Dengan perasaan kesal, akhirnya aku pulang. Tetapi sesampainya
di rumah, aku coba untuk memikirkan kembali perkataannya.
Alhamdulliah. Selang beberapa minggu, Allah membukakan mata
hambanya yang selama ini buta oleh cinta buta. Dituntunnya aku untuk memahami
tentang Islam, diberikannya aku kabar tentang indahnya surga tempat balasan
bagi orang-orang bertaqwa, Indahnya hidup dalam naungan Islam. Dan hanya
Allah-lah yang patut menjadi kekasih sejati kita. Hanya bagi Allah-lah Cinta
kita berikan yang utama. Kini.. bersama teman-teman seperjuangan dalam
menegakan Islam, aku sedang menanti perjumpaan dengan kekasih hati…. Allah
Illahi Rabbi……ya Allah Aku rindu…[Seperti yang
diceritakan Ibnu An-Nabhandi pada Mursyid]
[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi
Juli 2003
Dikutip
dari : Gaul ISlam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap Berkomentar secara Arif Nan Bijaksana.
Trim's . . . !!!