Anda Pengunjung Ke :

hit counters

Senin, 18 Juni 2012

Perihal Shalat Berjamaah


1. Kedudukan shalat dalam Islam

Umar bin Khaththab r.a. menulis surat …. “Sesungguhnya urusanmu yang paling penting disisiku adalah shalat, barangsiapa yang menjaganya maka ia telah menjaga dirinya dan barangsiapa menyia-nyiakan maka ia akan lebih menyia-nyiakan amalan yang lain, tak ada keuntungan sedikitpun dalam Islam bagi seorang yang telah meninggalkan shalat”[1].

Telah diriwayatkan oleh Nabi saw, beliau bersabda “Shalat adalah tiang agama”. Tidakkah engkau tahu sesungguhnya tenda akan roboh bila tiangnya telah roboh, tidak bermanfaat bila hanya dengan tali, tidak pula dengan pasak. Maka demikian itu pula (kedudukan) shalat dalam Islam[2].




Pada waktu itu shalat merupakan syaria’t yang belum dimu’akkadkan, ia disyariatkan ketika di Madinah, dan shalat menjadi amalan tersendiri dalam syari’at Islam.

Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata: Kaum muslimin tatkala di Madinah berkumpul dan hanya memperkirakan waktunya shalat tiba, tidak menggunakan panggilan. Pada suatu hari mereka memperbincangkannya, sebagian kemudian ada yang berkata: “Gunakan saja lonceng seperti halnya orang Nashrani”, sebagian yang lain berkata: “Gunakan saja terompet seperti terompetnya orang Yahudi”. Kemudian Umar berkata: “kenapa tidak kalian suruh saja seorang untuk menyerukan datangnya waktu shalat?”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Wahai Bilal berdirilah dan serukan waktu tibanya shalat”[3].




Shalat berjama’ah adalah sebab terangkatnya derajat dan bertambahnya kebaikan, ia melebihi shalat sendirian, shalat berjama’ah lebih utama 27 derajat. Dari Abdullah bin Umar r.a. Rasulullah saw bersabda: “Shalat yang dilakukan berjama’ah itu lebih utama 27 kali daripada shalat sendirian”[4]. Dan yang lainnya, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang shalat berjama’ah pada shaf pertama.” Sabda Nabi.

Ibnu Mas’ud berkata: “Siapa yang ingin bertemu Allah sebagai seorang muslim harus menjaga benar-benar shalat pada waktunya ketika terdengar suara adzan. Maka sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada Nabi saw. beberapa kelakuan hidayah (sunanulhuda) dan menjaga shalat itu termasuk dari sunanulhuda. Andaikata kamu shalat di rumah sebagai kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah berarti kamu meninggalkan sunnah Nabimu, dan bila kamu meninggalkan sunnah Nabimu pasti kamu tersesat. Tidak ada balasan bagi orang yang mengambil air wudhu dan menyempurnakannya kemudian menuju masjid melainkan Allah akan menuliskannya kebaikan bagi setiap langkahnya dan derajatnya diangkat serta dosanya terhapus. Telah kita ketahui tidak ada orang yang meninggalkan sholat berjama’ah (dengan sengaja tanpa adanya udzur/ halangan sesuai syari’at) kecuali hanya orang-orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya dan sungguh dahulu ada seseorang (yang sakit) yang dipapah oleh dua orang (untuk berangkat ke masjid) hingga di diberdirikan dibarisan  shaf”[5].

Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah mengajarkan kepada kita jalan yang telah mendapat petunjuk, dan jalan yang ditunjuki adalah shalat di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan”[6].

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Seandainya manusia mengetahui keutamaan memenuhi panggilan adzan dan shaf yang pertama, kemudian ia tak mendapatkannya kecuali harus dengan mengundinya, tentu akan dilakukannya dan seandainya mereka tahu keutamaan shalat dhuhur tentu mereka akan berlomba untuk mendapatkannya, dan seandainya mereka tahu keutamaan shalat isya’ dan shubuh, niscaya mereka akan mendatanginya meski harus dengan merangkak”[7].

Ayat mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah. Dan dalam surat An-Nisa' Allah berfirman yang artinya :
"Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serokaat), maka hendaklah mereka dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata."  (An Nisa' 102)

Pada ayat diatas Allah mewajibkan shalat berjamaah bagi kaum muslimin dalam keadaan perang. Bagaimana bila dalam keadaan damai?!. Telah disebutkan diatas bahwa "..dan hendaklah datang segolongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah bersamamu.". Ini adalah dalil bahwa shalat berjamaah adalah fardhu 'ain, bukan fardu kifayah, ataupun sunnah. Jika hukumnya fardhu kifayah, pastilah gugur kewajiban berjamaah bagi kelompok kedua karena penunaian kelompok pertama. Dan jika hukumnya adalah sunnah, pastilah alasan yang paling utama adalah karena takut.

Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah r.a. berkata: "Seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ummu Maktum r.a. (yang buta matanya) datang kepada Nabi saw, ia berkata: "Wahai Rasulullah, aku mempunyai seorang penuntun yang kurang patuh kepadaku, sedang sepanjang jalan antara rumahku sampai masjid terdapat banyak pepohonan dan semak berduri. Apakah aku diijinkan shalat di rumahku?” Maka Nabi saw. ganti bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan, wahai Abdullah?” Abdullah menjawab, “Saya mendengar, ya Rasulullah!” “Kalau begitu sambutlah panggilan Allah untuk shalat di masjid,” Jawab Nabi saw.[8]

Pada suatu hari seusai mengimami shalat Ashar, Umar bin Khatab r.a., menanyakan kabar sahabat yang tidak hadir berjama’ah. Seorang sahabat melaporkan, “Kabarnya dia sakit, ya Amirul Mukminin!”. Maka Umar r.a. menjenguk ke rumahnya. Setibanya di rumah segera mengetuk pintu. Dari dalam terdengar pertanyaan, “Siapa yang mengetuk pintu?” Dari luar Umar r.a. menjawab, “Umar bin Khatab”. Mengetahui yang datang Amirul Mukminin maka ia segera membuka pintu. Sejurus ketika kedua mata Umar r.a. menatap kedua mata sahabat tersebut maka Umar segera menegur, “Kenapa engkau tidak shalat berjama’ah bersama kami, padahal Allah Ta’ala telah memanggilmu dari atas langit ketujuh Hayya ‘alash shalaah akan tetapi kamu tidak menyahutnya! Sedangkan panggilan Umar sempat membuatmu gelisah dan ketakutan!”[9]

Dari beberapa hadits-hadits diatas jelaslah betapa pentingnya shalat berjama’ah terlebih lagi dilakukan di masjid sebagai pemenuhan panggilan Allah swt.


“Barangsiapa mendengar seruan muadzin dan tak ada udzur yang menghalanginya, sahabat bertanya”Apakah udzur itu?” Rasulullah menjawab: “Rasa takut dan sakit, maka shalat yang ia kerjakan tak diterima”[10]

Abu Darda’ berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Bila ada tiga orang yang tinggal di satu kota atau desa tidak didirikan shalat, mereka akan dikuasai oleh syetan, maka hendaklah engkau senantiasa mengerjakan shalat berjama’ah”[11]

Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang menafik adalah shalat shubuh dan shalat isya’ seandainya mereka tahu apa yang ada pada keduanya tentu mereka akan mendatanginya walau dengan merangkak, aku ingin sekali supaya shalat ditegakkan dan memerintahkan seorang menjadi imamnya kemudian pergi bersama beberapa orang lelaki dengan membawa kayu baker mendatangi kaum yang tidak mengerjakan shalat berjama’ah, lalu aku bakar rumah mereka dengan api”[12]


Halangan yang menyebabkan ada keringanan untuk meninggalkan shalat berjama’ah banyak sekali antara lain:
a)      Takut dan sakit.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang mendengarkan seruan shalat (adzan) dan tak ada udzur (halangan) yang menghalangi (untuk dating shalat berjama’ah), maka tidak akan diterima shalat yang dilakukan darinya”. Mereka (sahabat) bertanya: “Apa yang dimaksud dengan halangan itu, ya Rasullullah?”. Beliau saw. bersabda: “Rasa takut dan sakit”[13].
b)      Takut, baik itu terhadap jiwa, harta atau keluarga.
c)      Hujan.
Dalam hadits shahih dari Ibnu Umar r.a. disebutkan, katanya: “Rasulullah saw. memanggil penyerunya di malam yang turun hujan atau malam yang dingin dengan ucapannya: “Shalatlah kalian di tempat masing-masing”[14]
d)     Memakan (makanan) yang berbau tidak sedap seperti bawang putih dan petai dll.
e)      Ketiduran.
f)       Makanan yang telah dihidangkan serta menahan hajat besar atau ingin buang air. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a.: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: janganlah kamu shalat di hadapan makanan yang telah dihidangkan dan jangan pula shalat bagi orang yang terdesak ingin buang hajat besar atau ingin buang air[15]

6. Kapan seseorang dikatakan memperoleh Shalat Berjama’ah



Sudah dianggap berjama’ah meskipun hanya mendapatkan takbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat yang mansyur menurut Ahmad dan sebagian besar para shahabat memilih pendapat ini[16].


Landasan pendapat ini adalah riwayat Abu Hurairah, Nabi saw bersabda:
“Apabila shalat telah ditegakkan, janganlah kamu mendatanginya dengan berlari, datangilah ia dengan berjalan dan tenang , apa yang kamu dapatkan, maka shalatlah, dan apa yang kamu luput darinya, maka sempurnakanlah”[17]

Dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw bersabda:
“Jika kalian mendatangi shalat (jama’ah) sedangkan kami dalam sujud, maka bersujudlah dan jangan menghitungnya (satu rakaat). Barangsiapa yang telah mendapatkan ruku’ berarti telah mendapatkan shalat”[18]




*    Kalau ma’mum itu seorang diri disebelah kanan imam, dan kalau dua orang keatas dibelakang imam.

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Nabi saw. (pernah) berdiri shalat maghrib, kemudian aku datang, lalu aku berdiri di sebelah kirinya, lalu Nabi melarang aku, dan ia menjadikan aku di sebelah kanannya. Kemudian seorang kawanku dating, lalu Nabi mengatur shaf kami di belakangnya, lalu ia shalat bersama kami, dalam satu pakaian yang diselempangkan dua ujungnya”[19] . Tambahan, bahwa jarak antara imam dan makmum yang disebelah kanannya tidak lebih dari besar telapak kaki dan ada yang selisih hanya sedikit sekali mundurnya makmum terhadap imam.

*    Letak imam persis di tengah shaf dan yang dekat imam ialah orang yang sudah baligh dan pandai.

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Letakkan imam itu di tengah dan tutuplah celah-celah (shaf)”[20]

Dan dari Abu Mas’ud Al Ansharie, ia berkata: “Adalah Rasulullah saw. meraba bahu-bahu kami di (waktu hendak) shalat, dan sambil bersabda: “Luruskanlah dan jangan berselisih, karena akibat hatimu akan berselisih. Hendaklah orang-orang yang sudah baligh dan pandai di antara kamu, dekat aku; kemudian orang-orang yang mengiringi mereka; kemudian orang-orang yang mengiringi mereka”[21]

*    Letak anak-anak dan perempuan berpisah dari orang dewasa.

Dari Abdurrahman bin Ghunm, dari Abu Malik Al Asy’arie, dari Rasulullah saw., “Sesungguhnya ia (pernah) mempersamakan antara empat rakaat dalam bacaan dan berdiri; dan menjadikan rakaat pertama adalah yang lebih panjang, agar orang-orang bisa menyusul (mengikuti jama’ah); dan menempatkan orang-orang dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang mereka; dan perempuan di belakang anak-anak”[22].

Perkataan “Dan menempatkan orang-orang dewasa di depan anak-anak dst.” Itu,  menunjukkan didahulukannya shaf orang dewasa daripada anak-anak, dan anak-anak didahulukan daripada perempuan. Ini apabila anak-anak itu dua orang atau lebih. Tetapi apabila anak-anak itu seorang diri, maka ia dimasukkan ke shaf orang dewasa, dan tidak boleh menyendiri di belakang shaf. Dalil yang menunjukkan demikian itu, ialah hadits Anas.

Jadi jelaslah bahwa sebenarnya orang dewasa utamanya adalah Shaf depan, sedang anak-anak adalah setelah shaf orang dewasa (bila tidak sendiri) dan yang terakhir untuk perempuan yang lebih utamanya adalah shaf paling akhir/ belakang.

Pesan untuk orang tua : “Marilah kita bersama-sama menyampaikan ilmu kepada anak-anak kita agar terciptanya kesempurnaan shalat berjamaah dengan memberikan ilmunya kepada mereka mengenai aturan shaft, karena itu adalah cerminan orang-orang yang berilmu untuk melaksanakan sunnah Nabi saw”.


Sebaik-baik imam shalat adalah yang terbaik di antara manusia. Dari Abdullah bin Umar r.a., Nabi saw. bersabda: “Jadikanlah imam olehmu, orang-orang yang terpilih di antara kamu, karena mereka adalah perantara kamu dengan Allah”.

Mengenai urutannya adalah yang lebih mahir membaca al Qur’an, kemudian yang lebih mengerti tentang sunnah, kemudian yang lebih awal masuk Islam, kemudian yang lebih tua umurnya. Ibnu Mas’ud Al Anshari r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Orang yang mengimami kamu hendaklah orang yang lebih pandai membaca kitab Al-Qur’an. Maka jika sama di antara mereka, pilihlah yang paling pandai tentang sunnah (hadits). Kalau dari segi sunnah juga sama, maka dahulukan orang yang paling dahulu hijrahnya dan kalau dari segi hijrah juga sama, maka dilihat dari segi siapa yang dewasa usianya. Janganlah seorang kalian menjadi imam bagi orang lain di lingkungan kekuasaannya dan jangan pula duduk di hamparan rumah orang lain kecuali dengan ijinnya”[23].


Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa shalat berjama’ah di mesjid bagi selain wanita itu lebih utama daripada shalat berjama’ah di selain mesjid. Rasulullah saw. bersabda: “Shalat yang paling utama adalah shalat seorang di rumahnya kecuali shalat wajib”[24].

Adapun wanita, maka shalat berjamaahnya lebih utama di rumah berdasarkan hadits: “Jangan kalian melarang istri (wanita) pergi ke mesjid, namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka (untuk shalat)”[25].

10. Penutup

Selebihnya saya kembalikan kepada Allah Swt. segala kebenaran ilmu dan segala kekurangan adalah dari saya pribadi sebagai manusia, semoga bermanfaat dan menjadikan amal kita menjadi amal sholeh yaitu amal yang benar (sesuai ilmu yang bersumberkan kepada Al Qur’an dan As Sunnah) dan ikhlas dalam mengamalkannya, serta berusaha menghidupkan sunnah Nabi Muhammad saw. sebagai rujukan kita dalam beribadah. Insya Allah.

Wallahu ‘alam bishshawab.






[1] Kitab Shalat dan hukum meninggalkannya, Ibnu Qayyim al Jauziyah hal 403-404
[2] Kitabus Shalat, oleh Imam Ahmad bin Hanbal hal 356
[3] Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari 2/77
[4] Shahih Muslim 1/451
[5] HR. Muslim [Fiqih Shalat, 110]
[6] Shahih Muslim 1/453 bab 44 kitab al Masajid wa mawadli’ush shalat no. 654
[7] Kitab Adzan bab 9 shahih Bukhari [Shalat Jama’ah, hal. 33]
[8] [Pesona Akhlak Rasulullah saw., hal.51]
[9] [Pesona Akhlak Rasulullah saw., hal.52]

[10] Abu Dawud hadits no. 551
[11] Jami’ Tirmidzi
[12] Shahih Muslim 1/1, 452 no. 651.
[13] HR. Abu Dawud
[14] HR. Ibnu Majah
[15] Al Hadits [Hukum-hukum seputar sholat, hal. 133]
[16] Hasyim Ibnu Abidin 2/59
[17] Shahih Muslim 1/420 no. 602
[18] Imam Abu Daud dalam sunannya
[19] HR. Ahmad
[20] HR. Abu Daud
[21] HR. Ahmad, Muslim, Nasai dan Ibnu Majah
[22] HR. Ahmad
[23] HR. Muslim dan Tirmidzi [[Fiqih Shalat, hal. 125]
[24] HR. An Nasaa’I dan Thabrani [Fiqih Shalat, hal. 114]
[25] HR. Ahmad dari Ibnu Umar dan Umu Salamah [Fiqih Shalat, hal. 114]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap Berkomentar secara Arif Nan Bijaksana.

Trim's . . . !!!

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes