1. Kedudukan shalat dalam Islam
Umar bin
Khaththab r.a. menulis surat
…. “Sesungguhnya urusanmu yang paling
penting disisiku adalah shalat, barangsiapa yang menjaganya maka ia telah
menjaga dirinya dan barangsiapa menyia-nyiakan maka ia akan lebih menyia-nyiakan
amalan yang lain, tak ada keuntungan sedikitpun dalam Islam bagi seorang yang
telah meninggalkan shalat”[1].
Telah
diriwayatkan oleh Nabi saw, beliau bersabda “Shalat adalah tiang agama”. Tidakkah engkau tahu sesungguhnya tenda
akan roboh bila tiangnya telah roboh, tidak bermanfaat bila hanya dengan tali,
tidak pula dengan pasak. Maka demikian itu pula (kedudukan) shalat dalam Islam[2].
Pada waktu itu
shalat merupakan syaria’t yang belum dimu’akkadkan, ia disyariatkan ketika di
Madinah, dan shalat menjadi amalan tersendiri dalam syari’at Islam.
Al Bukhari
meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata: Kaum muslimin tatkala di Madinah
berkumpul dan hanya memperkirakan waktunya shalat tiba, tidak menggunakan panggilan.
Pada suatu hari mereka memperbincangkannya, sebagian kemudian ada yang berkata:
“Gunakan saja lonceng seperti halnya
orang Nashrani”, sebagian yang lain berkata: “Gunakan saja terompet seperti terompetnya orang Yahudi”. Kemudian
Umar berkata: “kenapa tidak kalian suruh
saja seorang untuk menyerukan datangnya waktu shalat?”. Kemudian Rasulullah
bersabda: “Wahai Bilal berdirilah dan
serukan waktu tibanya shalat”[3].
Shalat
berjama’ah adalah sebab terangkatnya derajat dan bertambahnya kebaikan, ia
melebihi shalat sendirian, shalat berjama’ah lebih utama 27 derajat. Dari
Abdullah bin Umar r.a. Rasulullah saw bersabda: “Shalat yang dilakukan berjama’ah itu lebih utama 27 kali daripada
shalat sendirian”[4]. Dan yang lainnya, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang
yang shalat berjama’ah pada shaf pertama.” Sabda Nabi.
Ibnu Mas’ud
berkata: “Siapa yang ingin bertemu Allah
sebagai seorang muslim harus menjaga benar-benar shalat pada waktunya ketika
terdengar suara adzan. Maka sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada Nabi
saw. beberapa kelakuan hidayah (sunanulhuda) dan menjaga shalat itu termasuk
dari sunanulhuda. Andaikata kamu shalat di rumah sebagai kebiasaan orang yang
tidak suka berjama’ah berarti kamu meninggalkan sunnah Nabimu, dan bila kamu
meninggalkan sunnah Nabimu pasti kamu tersesat. Tidak ada balasan bagi orang
yang mengambil air wudhu dan menyempurnakannya kemudian menuju masjid melainkan
Allah akan menuliskannya kebaikan bagi setiap langkahnya dan derajatnya
diangkat serta dosanya terhapus. Telah kita ketahui tidak ada orang yang
meninggalkan sholat berjama’ah (dengan sengaja tanpa adanya udzur/ halangan
sesuai syari’at) kecuali hanya orang-orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya
dan sungguh dahulu ada seseorang (yang sakit) yang dipapah oleh dua orang
(untuk berangkat ke masjid) hingga di diberdirikan dibarisan shaf”[5].
Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah mengajarkan
kepada kita jalan yang telah mendapat petunjuk, dan jalan yang ditunjuki adalah
shalat di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan”[6].
Dari Abu
Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Seandainya manusia mengetahui keutamaan memenuhi panggilan adzan dan
shaf yang pertama, kemudian ia tak mendapatkannya kecuali harus dengan
mengundinya, tentu akan dilakukannya dan seandainya mereka tahu keutamaan
shalat dhuhur tentu mereka akan berlomba untuk mendapatkannya, dan seandainya
mereka tahu keutamaan shalat isya’ dan shubuh, niscaya mereka akan mendatanginya
meski harus dengan merangkak”[7].
Ayat mulia ini merupakan nash tentang
kewajiban shalat berjamaah. Dan dalam surat
An-Nisa' Allah berfirman yang artinya :
"Dan apabila kamu
berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan serokaat), maka hendaklah mereka dari
belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang
belum shalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap
siaga dan menyandang senjata." (An Nisa' 102)
Pada ayat diatas Allah mewajibkan
shalat berjamaah bagi kaum muslimin dalam keadaan perang. Bagaimana bila dalam
keadaan damai?!. Telah disebutkan diatas bahwa "..dan hendaklah datang segolongan kedua yang belum shalat, lalu
bershalatlah bersamamu.". Ini adalah dalil bahwa shalat berjamaah
adalah fardhu 'ain, bukan fardu kifayah, ataupun sunnah. Jika hukumnya fardhu
kifayah, pastilah gugur kewajiban berjamaah bagi kelompok kedua karena
penunaian kelompok pertama. Dan jika hukumnya adalah sunnah, pastilah alasan
yang paling utama adalah karena takut.
Dan dalam Shahih Muslim dari Abu
Hurairah r.a. berkata: "Seorang sahabat
yang bernama Abdullah bin Ummu Maktum r.a. (yang buta matanya) datang kepada
Nabi saw, ia berkata: "Wahai
Rasulullah, aku mempunyai seorang penuntun yang kurang patuh kepadaku, sedang
sepanjang jalan antara rumahku sampai masjid terdapat banyak pepohonan dan
semak berduri. Apakah aku diijinkan shalat di rumahku?” Maka Nabi saw.
ganti bertanya, “Apakah kamu mendengar
adzan, wahai Abdullah?” Abdullah menjawab, “Saya mendengar, ya Rasulullah!” “Kalau begitu sambutlah panggilan
Allah untuk shalat di masjid,” Jawab Nabi saw.[8]
Pada suatu hari seusai mengimami
shalat Ashar, Umar bin Khatab r.a., menanyakan kabar sahabat yang tidak hadir
berjama’ah. Seorang sahabat melaporkan, “Kabarnya
dia sakit, ya Amirul Mukminin!”. Maka Umar r.a. menjenguk ke rumahnya.
Setibanya di rumah segera mengetuk pintu. Dari dalam terdengar pertanyaan, “Siapa yang mengetuk pintu?” Dari luar
Umar r.a. menjawab, “Umar bin Khatab”. Mengetahui
yang datang Amirul Mukminin maka ia segera membuka pintu. Sejurus ketika kedua
mata Umar r.a. menatap kedua mata sahabat tersebut maka Umar segera menegur, “Kenapa engkau tidak shalat berjama’ah
bersama kami, padahal Allah Ta’ala telah memanggilmu dari atas langit ketujuh
Hayya ‘alash shalaah akan tetapi kamu tidak menyahutnya! Sedangkan panggilan
Umar sempat membuatmu gelisah dan ketakutan!”[9]
Dari beberapa hadits-hadits diatas jelaslah betapa pentingnya shalat
berjama’ah terlebih lagi dilakukan di masjid sebagai pemenuhan panggilan Allah
swt.
“Barangsiapa mendengar seruan muadzin dan
tak ada udzur yang menghalanginya, sahabat bertanya”Apakah udzur itu?”
Rasulullah menjawab: “Rasa takut dan sakit, maka shalat yang ia kerjakan tak
diterima”[10]
Abu Darda’
berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Bila ada tiga orang yang tinggal di satu kota atau desa tidak
didirikan shalat, mereka akan dikuasai oleh syetan, maka hendaklah engkau
senantiasa mengerjakan shalat berjama’ah”[11]
Abu Hurairah
berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang menafik adalah shalat
shubuh dan shalat isya’ seandainya mereka tahu apa yang ada pada keduanya tentu
mereka akan mendatanginya walau dengan merangkak, aku ingin sekali supaya
shalat ditegakkan dan memerintahkan seorang menjadi imamnya kemudian pergi
bersama beberapa orang lelaki dengan membawa kayu baker mendatangi kaum yang
tidak mengerjakan shalat berjama’ah, lalu aku bakar rumah mereka dengan api”[12]
Halangan yang
menyebabkan ada keringanan untuk meninggalkan shalat berjama’ah banyak sekali
antara lain:
a)
Takut dan sakit.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang mendengarkan seruan shalat (adzan) dan tak ada udzur (halangan)
yang menghalangi (untuk dating shalat berjama’ah), maka tidak akan diterima
shalat yang dilakukan darinya”. Mereka (sahabat) bertanya: “Apa yang dimaksud dengan halangan itu, ya
Rasullullah?”. Beliau saw. bersabda: “Rasa
takut dan sakit”[13].
b)
Takut, baik itu terhadap jiwa, harta atau keluarga.
c)
Hujan.
Dalam hadits
shahih dari Ibnu Umar r.a. disebutkan, katanya: “Rasulullah saw. memanggil
penyerunya di malam yang turun hujan atau malam yang dingin dengan ucapannya:
“Shalatlah kalian di tempat masing-masing”[14]
d)
Memakan (makanan) yang berbau tidak sedap seperti
bawang putih dan petai dll.
e)
Ketiduran.
f)
Makanan yang telah dihidangkan serta menahan hajat
besar atau ingin buang air. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a.: “Aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda: janganlah kamu
shalat di hadapan makanan yang telah dihidangkan dan jangan pula shalat bagi
orang yang terdesak ingin buang hajat besar atau ingin buang air[15]
6. Kapan
seseorang dikatakan memperoleh Shalat Berjama’ah
Sudah dianggap
berjama’ah meskipun hanya mendapatkan takbir sebelum imam mengucapkan salam.
Ini pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat yang mansyur menurut Ahmad dan
sebagian besar para shahabat memilih pendapat ini[16].
Landasan
pendapat ini adalah riwayat Abu Hurairah, Nabi saw bersabda:
“Apabila shalat telah ditegakkan,
janganlah kamu mendatanginya dengan berlari, datangilah ia dengan berjalan dan
tenang , apa yang kamu dapatkan, maka shalatlah, dan apa yang kamu luput
darinya, maka sempurnakanlah”[17]
Dari Abu
Hurairah r.a., Nabi saw bersabda:
“Jika kalian mendatangi shalat
(jama’ah) sedangkan kami dalam sujud, maka bersujudlah dan jangan menghitungnya
(satu rakaat). Barangsiapa yang telah mendapatkan ruku’ berarti telah
mendapatkan shalat”[18]
Kalau
ma’mum itu seorang diri disebelah kanan imam, dan kalau dua orang keatas
dibelakang imam.
Dari Jabir bin
Abdillah, ia berkata: “Nabi saw. (pernah)
berdiri shalat maghrib, kemudian aku datang, lalu aku berdiri di sebelah
kirinya, lalu Nabi melarang aku, dan ia menjadikan aku di sebelah kanannya.
Kemudian seorang kawanku dating, lalu Nabi mengatur shaf kami di belakangnya,
lalu ia shalat bersama kami, dalam satu pakaian yang diselempangkan dua
ujungnya”[19]
. Tambahan, bahwa jarak antara imam dan makmum yang disebelah kanannya
tidak lebih dari besar telapak kaki dan ada yang selisih hanya sedikit sekali
mundurnya makmum terhadap imam.
Letak
imam persis di tengah shaf dan yang dekat imam ialah orang yang sudah baligh
dan pandai.
Dari Abu
Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Letakkan imam itu di tengah dan tutuplah celah-celah (shaf)”[20]
Dan dari Abu
Mas’ud Al Ansharie, ia berkata: “Adalah
Rasulullah saw. meraba bahu-bahu kami di (waktu hendak) shalat, dan sambil
bersabda: “Luruskanlah dan jangan berselisih, karena akibat hatimu akan
berselisih. Hendaklah orang-orang yang sudah baligh dan pandai di antara kamu,
dekat aku; kemudian orang-orang yang mengiringi mereka; kemudian orang-orang
yang mengiringi mereka”[21]
Letak
anak-anak dan perempuan berpisah dari orang dewasa.
Dari Abdurrahman
bin Ghunm, dari Abu Malik Al Asy’arie, dari Rasulullah saw., “Sesungguhnya ia (pernah) mempersamakan
antara empat rakaat dalam bacaan dan berdiri; dan menjadikan rakaat pertama
adalah yang lebih panjang, agar orang-orang bisa menyusul (mengikuti jama’ah);
dan menempatkan orang-orang dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di
belakang mereka; dan perempuan di belakang anak-anak”[22].
Perkataan “Dan menempatkan orang-orang dewasa di depan
anak-anak dst.” Itu, menunjukkan didahulukannya
shaf orang dewasa daripada anak-anak, dan anak-anak didahulukan daripada
perempuan. Ini apabila anak-anak itu dua orang atau lebih. Tetapi apabila
anak-anak itu seorang diri, maka ia dimasukkan ke shaf orang dewasa, dan tidak
boleh menyendiri di belakang shaf. Dalil yang menunjukkan demikian itu, ialah
hadits Anas.
Jadi jelaslah
bahwa sebenarnya orang dewasa utamanya adalah Shaf depan, sedang anak-anak
adalah setelah shaf orang dewasa (bila tidak sendiri) dan yang terakhir untuk
perempuan yang lebih utamanya adalah shaf paling akhir/ belakang.
Pesan untuk orang
tua : “Marilah kita bersama-sama menyampaikan ilmu kepada anak-anak kita agar
terciptanya kesempurnaan shalat berjamaah dengan memberikan ilmunya kepada
mereka mengenai aturan shaft, karena itu adalah cerminan orang-orang yang
berilmu untuk melaksanakan sunnah Nabi saw”.
Sebaik-baik imam
shalat adalah yang terbaik di antara manusia. Dari Abdullah bin Umar r.a., Nabi
saw. bersabda: “Jadikanlah imam olehmu,
orang-orang yang terpilih di antara kamu, karena mereka adalah perantara kamu
dengan Allah”.
Mengenai
urutannya adalah yang lebih mahir membaca al Qur’an, kemudian yang lebih
mengerti tentang sunnah, kemudian yang lebih awal masuk Islam, kemudian yang
lebih tua umurnya. Ibnu Mas’ud Al Anshari r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw bersabda: “Orang yang mengimami kamu hendaklah orang yang lebih pandai
membaca kitab Al-Qur’an. Maka jika sama di antara mereka, pilihlah yang paling
pandai tentang sunnah (hadits). Kalau dari segi sunnah juga sama, maka
dahulukan orang yang paling dahulu hijrahnya dan kalau dari segi hijrah juga
sama, maka dilihat dari segi siapa yang dewasa usianya. Janganlah seorang
kalian menjadi imam bagi orang lain di lingkungan kekuasaannya dan jangan pula
duduk di hamparan rumah orang lain kecuali dengan ijinnya”[23].
Tidak ada
perselisihan di antara para ulama bahwa shalat berjama’ah di mesjid bagi selain
wanita itu lebih utama daripada shalat berjama’ah di selain mesjid. Rasulullah
saw. bersabda: “Shalat yang paling utama
adalah shalat seorang di rumahnya kecuali shalat wajib”[24].
Adapun wanita,
maka shalat berjamaahnya lebih utama di rumah berdasarkan hadits: “Jangan kalian melarang istri (wanita) pergi
ke mesjid, namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka (untuk shalat)”[25].
10.
Penutup
Selebihnya saya
kembalikan kepada Allah Swt. segala kebenaran ilmu dan segala kekurangan adalah
dari saya pribadi sebagai manusia, semoga bermanfaat dan menjadikan amal kita
menjadi amal sholeh yaitu amal yang benar (sesuai ilmu yang bersumberkan kepada
Al Qur’an dan As Sunnah) dan ikhlas dalam mengamalkannya, serta berusaha
menghidupkan sunnah Nabi Muhammad saw. sebagai rujukan kita dalam beribadah. Insya
Allah.
Wallahu ‘alam bishshawab.
[1] Kitab
Shalat dan hukum meninggalkannya, Ibnu Qayyim al Jauziyah hal 403-404
[2] Kitabus
Shalat, oleh Imam Ahmad bin Hanbal hal 356
[3] Fathul
Baari Syarh Shahih Bukhari 2/77
[4] Shahih
Muslim 1/451
[5] HR.
Muslim [Fiqih Shalat, 110]
[6] Shahih
Muslim 1/453 bab 44 kitab al Masajid wa mawadli’ush shalat no. 654
[7] Kitab
Adzan bab 9 shahih Bukhari [Shalat Jama’ah, hal. 33]
[8] [Pesona
Akhlak Rasulullah saw., hal.51]
[9] [Pesona
Akhlak Rasulullah saw., hal.52]
[10] Abu
Dawud hadits no. 551
[11] Jami’
Tirmidzi
[12] Shahih
Muslim 1/1, 452 no. 651.
[13] HR. Abu
Dawud
[14] HR.
Ibnu Majah
[15] Al
Hadits [Hukum-hukum seputar sholat, hal. 133]
[16] Hasyim
Ibnu Abidin 2/59
[17] Shahih
Muslim 1/420 no. 602
[18] Imam
Abu Daud dalam sunannya
[19] HR.
Ahmad
[20] HR. Abu
Daud
[21] HR.
Ahmad, Muslim, Nasai dan Ibnu Majah
[22] HR.
Ahmad
[23] HR.
Muslim dan Tirmidzi [[Fiqih Shalat, hal. 125]
[24] HR. An
Nasaa’I dan Thabrani [Fiqih Shalat, hal. 114]
[25] HR.
Ahmad dari Ibnu Umar dan Umu Salamah [Fiqih Shalat, hal. 114]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap Berkomentar secara Arif Nan Bijaksana.
Trim's . . . !!!