Aku pernah sangat benci kepada para
akhwat? yang sok alim, sok suci dan mengenakan jilbab. Tapi, lambat laun aku
malah rindu untuk mengenakannya.
Aku tidak tahu harus memulainya dari
mana untuk becerita. Yang pasti aku akan berbagi kisah menemukan jalanku yang
sekarang. Aku lulus SMU tahun 2002 dan kulanjutkan ke D-1 komputer (di bawah
naungan Fak. MIPA salah satu kampus negeri) karena SPMB nggak lulus. Di kos
baru (sekitar 40 orang) aku kenalan ama temen-teman baru. Temen-teman kosku
termasuk anak-anak yang suka have fun. Jadi nggak berapa lama aku
sedikit demi sedikit ketularan pula. Satu semester aku habiskan dengan
senang-senang dan punya banyak temen cowok. Maklum, waktu itu aku orang yang
gampang akrab ama siapa saja. Meski begitu studi tetap jalan dan IP-ku lumayan
tinggi.
Jadi provokator anti-ngaji
Di saat itulah aku nggak sengaja
ketemu akhwat, sebut aja Mbak Afi, yang kebetulan udah aku kenal sepintas pas
berkunjung ke kontrakan temen SMU-ku, sebut saja namanya Nani. Dia ama-sama
MaBa (mahasiswa baru). Mulanya Nani bilang kalo di kontrakannya dia tertekan
karena ‘dipaksa’ ikut kajian sama mbak-mbak jilbaber. Demi mendengar itu aku
datang ingin tahu gimana kontrakan para jilbaber, kok berani kayak gitu. Aku
sarankan untuk tidak nurut kalo diajak ngaji en pesan untuk nggak mudah
percayai mereka.
Begitu pula pas Nani en sesama MaBa
di sana disuruh pake jilbab. Kubilang nggak usah nurut karena saat itu bagiku
pake jilbab itu aneh, adanya cuma di Arab sana. Ngapain ikut-ikutan. Lagian
nggak ‘mbois’, kayak ibu hamil. Seketika temen-temen di sana mengamini
ucapanku. Sejak itu aku sering ke sana demi mendukung mereka supaya nggak
terpengaruh. Puncaknya pas ada pesantren? yang diadain LDK kampusku. Nani dan
teman-temannya yang ‘dipaksa’ ikut melapor ke aku. Akhirnya kusarankan untuk
kabur beberapa hari dan salah seorang kuajak nginep di kos salah satu temen di
universitas lain. Aku ‘menyelamatkan’ teman-teman dari ajakan mbak-mbak itu.
Titik balik
Akhir semester pertama aku kesandung
masalah perasaan. Entah karena aku yang gede rasa atau apa, rasa itu tumbuh
bermula dari pertemanan. Walhasil pas dia tiba-tiba menghilang dan nggak mau
komunikasi, keadaan ini yang bikin aku down beberapa bulan. Nggak ada
semangat karena aku nggak ngerti kenapa dia pergi.
Beberapa waktu kemudian aku ketemu
Mbak Afi lagi di wartel. Iseng kusapa dan godain. Dari sanalah aku diajak main
ke kosnya. Di sana pula aku diajak diskusi seputar remaja, mengenai naluri dan
kebutuhan jasmani dan gimana pemenuhannya. Salah satunya naluri suka lawan
jenis seperti kasus yang menimpaku.
Sejak itu aku mulai terpengaruh
pemikirannya terutama masalah politik, sampe dipinjami beberapa majalah yang
khusus bahas politik Islam. Bahasan seputar keadaan umat Islam di negara lain
yang sedang dianiaya, kewajiban dakwah, dan penegakan hukum-hukum Islam lainnya
sempat bikin pusing. Aku musti nagapain? Semakin kubaca makin aku geram karena
ternyata umat Islam menghadapi masalah besar. Dunia yang kukira sempit ternyata
luas dan aku tampak kecil. Pusing itu aku bawa pulang sambil bawa beberapa
majalah itu. Kali aja aku bisa fresh. Mbak Afi nggak tahu kalo aku
pusing.
Beberapa waktu kemudian muncul
keinginan untuk ngaji ama Mbak Afi. Aku ingin tahu lebih jauh tentang Islam.
Anehnya aku jadi getol cari kajian di kampus. Aku selalu lihat papan pengumuman
tiap kali kuliah. Jelas nggak ada karena pada UAS trus libur. Nani en friends
yang dulunya sempat kucegah ikut kajian, jadi heran dengan perubahanku. Biarin
aja, “Emang gue pikirin?”
Awalnya jilbab kubenci, tapi
akhirnya kucintai
Aku aku sering ikutan kajiannya
mbak-mbak dan kenal banyak akhwat. Tapi pas materi jilbab, jujur, aku belum
terima. Aku tetap pake jins, kemeja panjang kecil, plus kudung gaul. PD aja,
pikirku waktu itu. Bagiku, aku akan pake kalo udah bener-bener mantep. Bukan
karena nyenengin hatinya mbak-mbak itu. Tapi kajian tetep jalan terus.
Suatu ketika, aku ingin coba pake
rok yang dulu sempat ingin kupake kuliah tapi tersimpan rapi di lemari.
Kukeluarkan dan kucoba pake kuliah. Awalnya grogi juga. Apalagi pas ketemu mbak
kosku di jalan ngeledekin begini, “Hei, preman kok pake rok?”. Langsung aja aku
ngibrit, malu diliatin orang. Maklum di kosan aku dijuluki preman karena tomboy
dan suka bikin ribut. Sejak itu anak di kosku heran lihat aku bisa pake rok
meski pas jalan masih kelihatan gaya cowoknya. Sampe-sampe ada yang ngajari aku
jalan ala cewek.
Kelar D-1, aku ikutan SPMB. Kali ini
aku dah kepincut ama akhwat di sana dan ide yang mereka bawa. Akhirnya
kuputuskan memilih kampus yang sama saat aku kuliah D-1. Aku pindah kos ama
gengku dari kos lama. Kos baru yang kutempati ternyata tempat ujian kami semua.
Mbak kos baru orangnya sekuler dan dikatator abis, doyan dugem, pacaran, en
tiap hari rajin muter house music plus jejeritan. Kadang suka marah kalo
nggak sesuai keinginannya. Kita anak baru diem aja, sungkan soalnya mereka
lebih tua. Aku mulai rajin ikut halaqoh. Aku juga gabung ama LDF (Lembaga Dakwah
Fakultas). Makin banyak yang kutahu, makin renggang pula aku ama gengku karena
sudah beda pemikiran. Mereka lebih nyaman dengan kebebasannya daripada
‘terkekang’ aturan Islam.
Di penghujung tahun saat wisuda
temenku yang lain universitas, aku datang demi memberikan ucapan selamat atas
wisudanya. Sebelumnya aku sudah cerita tentang aktivitasku dan rencanaku
mengenakan jilbab (sampe saat itu aku masih belum pake jilbab, cuma rencana).
Tapi dia menentang habis karena jilbab mengekang kebebasan wanita.
Kupikir akan dapat dukungan, tapi
nggak. Di wisudanya itu, saat pertama bertemu muka yang dia tanyakan adalah
jilbabku. “Mana, katanya pake?!” Deg, nggak nyangka jika itu jadi awal
percakapan kami, apalagi di depan umum. Aku belum sempat ucapkan selamat, tapi
dia sudah menyodokku dengan pertanyaan itu. Bagai disambar petir di siang
bolong, aku kaget gelagapan kayak orang ?nggak pake baju sambil melongo.
Setelah sadar kualihkan pembicaraan,
memberikan ucapan selamat. Aku terpukul dan malu. Setelah itu, tanpa basa-basi
aku ijin pulang dengan perasaan terheran-heran. Malamnya aku renungkan kejadian
itu dan kupikir itu mungkin teguran Allah agar aku segera pake jilbab. Sejak
itu kubulatkan tekad untuk mengenakan busana muslimah lengkap (jilbab dan
kerudungnya) dengan dukungan teman terdekatku yang menemani dari awal sampe
hari ini untuk tetap lurus di jalanNya dan hijrah ke kos lain. Sayangnya,
kontrakan Nani dkk bubar karena kontrak abis dan mereka tetep ‘jahiliyah’. Astaghfirullahal’adzim.
[Pernah dimuat di Majalah SOBAT
Muda, edisi Februari 2006]
Dikutip dari : Gaul Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap Berkomentar secara Arif Nan Bijaksana.
Trim's . . . !!!